Evaluasi Efektivitas Pelatihan/Training

oleh Martin E. Susilo

Dengan semakin meningkatkan kesadaran bahwa pelatihan adalah sebuah investasi yang sangat perlu untuk perkembangan dan kemajuan perusahaan maka efektivitas atau daya pengaruh pelatihan menjadi semakin penting. Manajemen akan tidak memusingkan lagi pelatihan apakah yang akan diberikan kepada karyawan, namun mereka lebih fokus pada apakah hasil dari pelatihan, apakah pelatihan yang sudah diberikan kepada karyawan dapat memberikan perubahan pada kemajuan perusahaan. Di sini, kita akan bicara mengenai metodologi untuk mengevaluasi seberapa efektifkah pelatihan.
Seorang Donald L Kirkpatrick, Professor Emeritus, University Of Wisconsin (tempat dia meraih BBA, MBA dan PhD), pertama kali mempubilkasikan idenya tentang level evaluasi pelatihan pada tahun 1959, di sebuah artikel jurnal US Training and Development. Menurutnya, ada empat level yang harus dievaluasi untuk menentukan efektivitas suatu pelatihan.
Keempat level yang dimaksud adalah
Level “reaction”: mengenai apakah yang dirasakan dan dipikirkan peserta pelatihan tentang pelatihan yang sudah diikutinya.
Level “learning”: mengenai bagaimana perkembangan pengetahuan atau kemampuan peserta setelah mendapat pelatihan. Apakah dia menjadi semakin pintar? Apakah dia menjadi semakin termpil?
Level “behavior”: apakah terjadi perubahan sikap (menjadi lebih baik) setelah mengikuti pelatihan, apakah setelah pelatihan para peserta tidak mengulangi lagi habitus lamanya? Adakah habitus professional yang baru yang dilakukannya setelah pelatihan?
Level “result”: apakah ada dampak pelatihan pada kinerja perusahaan/organisasi?
Tidak sedikit perusahaan yang hanya melaksanakan evaluasi pada level satu dan level dua saja yaitu cukup mengetahui apakah peserta suka atau tidak dengan pelatihannya dan juga apakah peserta mengerti tidak dengan materi yang diberikan. Ketika perusahaan hanya melaksanakan eveluasi selevel ini maka tak jarang pelatihan yang dilaksanakan sebenarnya tidak efektif namun pelatihan yang sama tetap akan diberikan tahun depan. Ini namanya pemborosan bukan?
Setiap level evaluasi memiliki alatnya masing-masing, dan juga memiliki tingkat kesulitan sendiri-sendiri dalam melaksanakan pengukurannya. Level “reaction” relative lebih mudah dilaksanakan, alat yang digunakan misalnya sebuah cek list yang memuat pertanyaan seperti bagaimana pendapat peserta tentang materi, trainer, metode penyampaian, makanan, ruangan, waktu. Sementara level “learning” evaluasinya dapat dilakukan dengan memberikan pre dan post test sebelum dan sesudah pelatihan kemudian dibandingkan adakah perbedaaan atau perkembangan pengetahuan. Evaluasi pada level “behavior” dapat dilakukan dengan pengamatan/observasi setelah pelatihan pada keseharian peserta dalam menjalankan tugasnya dan juga bisa dengan wawancara. Observasi dilakukan untuk mengetahui apakah terjadi perubahan habitus menjadi lebih baik. Metode ini biasanya menjadi tanggungjawab manajer. Sementara level “result” dilakukan evaluasi terhadap perubahan kinerja perusahaan misalnya membandingkan nilai omset, profit, tingkat kesalahan, waktu proses kerja, dan ROI periode sebelum dan sesudah ada pelatihan.

Gambar diambil dari oleh http://formosdesignsconsulting.com/services.htm

BAJAK - MEMBAJAK TALENT

Perang talent sudah berlangsung sejak lama. Hanya saja, intensitasnya tidak sebesar saat ini. Maka, perusahaan pun harus berjaga-jaga agar talent-nya tidak ditarik oleh perusahaan lain.
Selamat datang di era perburuan talent. Inilah era di mana talent terbaik Anda diperebutkan oleh perusahaan yang merasa kekurangan sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Situasi ini memang menyisakan ironi. Di saat angka pengangguran di Indonesia kian meningkat, di sisi lain individu yang punya talenta tinggi justru dikejar-kejar oleh puluhan perusahaan. Inilah sosok individu yang memiliki keahlian khusus, pengalaman unik, dan kompetensi yang dibutuhkan oleh perusahaan guna memenangkan persaingan di medan pertarungan bisnis.
Apa yang sesungguhnya ditawarkan perusahaan agar talent-talent terbaik ini mau bekerja di tempat mereka? Sudah pasti, iming-iming kompensasi yang menarik menjadi salah satu daya tarik – tapi bukan yang utama. Kalau yang ditawarkan hanya kompensasi, belum tentu diminati. Masih ada faktor lain yang dianggap lebih penting, di antaranya kultur perusahaan. Bagi para talent, kenyamanan kerja dan kesempatan untuk mengembangkan karier sering menjadi alasan untuk berpindah. Mereka juga memandang kebebasan berekspresi lebih penting daripada hal lain.
Barangkali, inilah yang menjelaskan mengapa banyak talenta dari perusahaan yang sudah mapan – misalnya Kai-Fu Lee dan Marc Lucovsky dari Microsoft – memilih pindah ke perusahaan yang usianya lebih muda, seperti Google. Alasan yang paling menonjol adalah: Google menawarkan kultur.
Harus diakui, perang talent paling popular terjadi di dunia olahraga. Cristiano Ronaldo dari klub sepak bola Manchester United, misalnya, hendak dipinang Real Madrid senilai 70 juta poundsterling atau setara Rp 1,26 triliun. Demikian pula Kaka dari klub AC Milan didekati Chelsea dengan nilai transfer sebesar 80 juta poundsterling atau setara Rp 1,4 triliun. Nilai tersebut memang tidak masuk akal. Tetapi di dunia olahraga, khususnya sepak bola, hal itu dianggap sah-sah saja.
Di dunia bisnis, proses bajak-membajak talent belum semenakutkan dunia olahraga. Maklum, “Profesional Indonesia belum memiliki agen yang mengatur hal tersebut,” tutur Alex Denni, Head of Consulting Group dari Dunamis Organization Services. Ke depan, ia melihat, bukan mustahil para profesional yang berkualitas tinggi pun memiliki agen khusus untuk mengurusi kontrak kerja dengan perusahaan yang mempekerjakan mereka.
Sebagaimana peradaban manusia, persaingan talent tidak muncul dengan sendirinya. Menurut Alex, ada proses yang harus dilalui. Proses itu bermula dari zaman primitif ketika keahlian manusia baru sebatas berburu dan berkumpul. “Jadi, persaingan ketika itu adalah perebutan wilayah berburu,” Alex menjelaskan. Setelah itu masuk ke era bercocok tanam, di mana orang bersaing untuk menguasai lahan pertanian. Era ini pun beralih ke zaman industri. Kali ini yang diperebutkan adalah teknologi dan modal. Dan, sekarang kita memasuki era baru yang disebut era pengetahuan (knowledge era). Sudah tentu, yang diperebutkan adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan dan keterampilan. Nah, di era inilah kita sekarang berada. “Jadi, kita harus bersiap-siap!,” ujarnya antusias.
Kendati bajak-membajak talent di dunia bisnis belum separah dunia sepak bola, bukan berarti hal itu pantas diabaikan. “Bisnis sekarang tumbuh cepat, sehingga perusahaan membutuhkan banyak talent. Selain itu, banyak bisnis baru yang ingin mendapatkan tenaga jadi yang tinggal ambil dari pasar,” papar Direktur Human Resources (HR) dan Corporate Relations PT Unilever Indonesia Tbk. Josef Bataona. Diakuinya, saat ini jumlah permintaan terhadap talent jauh lebih besar daripada persediaannya di pasar. “Indikasi ini menandakan bahwa fokus perusahaan pada pengembangan talent belum memadai,” ungkapnya.
Ini sekaligus memperlihatkan bahwa program perencanaan suksesi (succession planning) di perusahaan perlu dibenahi lagi. Seyogyanya, perencanaan suksesi ini untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang. “Kalau kita bisa memasukkan perencanaan lebih matang dan memadai, kita bisa mengantisipasi kekosongan posisi di tempat kita,” ujarnya memastikan.
Untuk mengantisipasinya, Josef menyatakan, orang HR perlu strategi untuk mengelola talent. Dan, langkah ini harus dimulai dengan melihat indikasi kebutuhan bisnis jangka panjang yang diinginkan perusahaan. “Jadi, para direksi dan orang HR di perusahaan harus bisa melihat kebutuhan bisnis dalam jangka waktu 5-10 tahun mendatang. Untuk itu stok talent yang ada di talent pool itu harus selalu dilihat, apakah mencukupi untuk mengemban visi dan misi perusahaan ataukah tidak,” tuturnya.
Sejauh ini Unilever mengandalkan program management trainee (MT) untuk memperoleh talent-talent baru. Setiap tahun secara konsisten perusahaan yang berasal dari Belanda ini merekrut fresh graduate untuk posisi MT. Namun, Josef menegaskan, mereka direkrut bukan untuk mengisi kekosongan jabatan saat ini, melainkan dipersiapkan untuk menjadi pemimpin masa depan. “Semua orang di luar sibuk saling membajak atau mengambil talent dari perusahaan lain, kami di dalam juga sibuk membuat lapisan demi lapisan talent yang kami siapkan untuk berbagai succession planning,” ungkapnya.
Diakuinya, masih banyak yang melihat MT sebagai upaya untuk mengisi kekosongan posisi saat ini. “Padahal, jangan lupa. Begitu gap ini kita isi, berarti ada requirement job yang baru lagi. Nah, gap itu akan bertambah besar,” katanya seraya melanjutkan bahwa percepatan program pelatihan dan pengembangan harus benar-benar dijaga agar bisa mengejar ketinggalan.
Sementara itu, praktisi HR, N. Krisbiyanto menilai bahwa “talent war” (perang untuk mendapatkan talent terbaik) di Indonesia terlihat jor-joran sejak krisis moneter menghantam industri perbankan. “Menurut saya, industri perbankan dan telekomunikasi sejak krisis moneter mengalami krisis talent,” ujarnya. Pria yang biasa disapa Kris ini menilai, kesalahan yang dilakukan oleh industri perbankan saat itu adalah menghentikan program training dan risk management dengan alasan tidak ada bujet. “Maklum, yang menjadi prioritas bagi industri perbankan kala itu adalah bertahan dari goncangan krisis,” kata Kris.
Dampaknya baru terasa saat ini. Beberapa segmen bisnis yang menghasilkan uang cukup besar di perbankan, yaitu usaha mikro, kecil dan menengah, yang peluang usahanya terbuka lebar menjadi tersendat karena kelangkaan SDM di bidang ini. “Peluang bisnis terus terbuka lebar dan orang mau melakukan penetrasi secepatnya,” Kris menjelaskan.
Selain perbankan, SDM di bidang teknologi informasi (TI) – kini ditambah telekomunikasi – juga jadi rebutan. “Tahun 2000 sistem TI mengalami perpindahan digit. Seluruh sistem di bank di-review lagi. Pada saat itulah saya merasakan sulit sekali mendapatkan orang TI,” ungkapnya. Kelangkaan juga memasuki area retail banking. “Saya masih ingat, tahun 1997-1998 orang banyak dibajak dari Citibank,” katanya mengenang. Kemungkinan bank-bank nasional berasumsi bahwa merekrut orang dari luar lebih efisien daripada membangun orang dari dalam. “Keputusan untuk merekrut orang dari luar atau membangun SDM dari dalam tergantung pada analisa HR yang dikembangkan oleh perusahaan,” Kris menambahkan.
Ia berpendapat, agar organisasi tidak ditinggalkan talent-talent terbaiknya, yang harus dilakukan adalah menciptakan ikatan, di antaranya dengan membangun suasana kerja yang baik. “Kalau di luar dia bisa dihargai lebih mahal dari internal kita, tentunya kita tidak boleh menutup mata. Kita harus menyesuaikan gaji orang tersebut karena itu salah satu cara untuk mempertahankannya,” ungkap Kris. Tetapi, tentu saja, ini bukan semata-mata soal uang. Menurutnya, budaya perusahaan juga memengaruhi loyalitas seseorang. “Kita dikasih gaji tinggi tapi didiamkan saja, kan tidak happy juga,” katanya menandaskan.
Berdasarkan pengamatannya, perburuan talent merupakan fenomena abadi. Mengapa? “Semakin canggih teknologi, makin cepat perusahaan mengambil berbagai keputusan,” ujarnya memberi alasan. Dengan demikian, proses bisnis akan berkembang cepat karena permintaan konsumen makin tinggi. “Contohnya, handphone. Dalam satu tahun bisa ganti generasi beberapa kali. Dunia bergerak dengan cepat karena orang selalu mencari hal-hal yang lebih efisien,” tuturnya.
Terlebih, di industri yang dilatarbelakangi oleh TI, semuanya bergerak dengan cepat. “Perusahaan-perusahaan kecil dibeli oleh perusahaan besar. Perusahaan yang tadinya tidak punya modal jadi punya modal karena sebagian atau seluruh sahamnya dibeli oleh investor lain. Akhirnya, perusahaan yang tadinya tidak terpikir mau membajak orang, mau tidak mau harus membajak karena kebutuhan,” ujar Kris menjelaskan.
Di sinilah titik kritisnya. Pandangan ini, menurut Alex, memaksa perusahaan untuk berpikir keras agar tidak kehilangan asetnya yang paling berharga, yaitu orang-orang terbaik. “People bukan sekadar sumber daya, melainkan aset perusahaan,” ujarnya menegaskan.
Untuk menutupi kekurangan tersebut, ia melihat, ada empat kebutuhan dasar yang diperlukan para talent. Pertama, kebutuhan untuk hidup (to life). Kedua, kebutuhan untuk dicintai (to love). Ketiga, kebutuhan untuk berkembang (to learn). Dan terakhir, kebutuhan untuk berkontribusi atau meninggalkan sesuatu yang berharga. “Intinya body, heart, mind, dan spirit,” ungkapnya. Alex menjelaskan, body ditentukan dengan gaji dan fasilitas. Selain itu, mereka butuh hubungan yang lebih baik. Kemudian, mereka butuh untuk mengembangkan potensi dan karier. Jika salah satu kebutuhan itu tidak terpenuhi, tidak tertutup kemungkinan sang talent akan pergi.
Sementara itu, dalam upaya memilih talent yang bagus, Alex berpendapat, ada dua cara yang dapat dilakukan. Pertama, lihat masa lalu orang yang bersangkutan atau disebut performance. Kedua, memprediksi masa depannya atau disebut kompetensi. Bila keduanya bagus, pantaslah dimasukkan ke dalam kotak yang namanya talent pool. “Siapa yang tahu informasi ini, siapa yang meng-approach orang ini, dialah yang akan memenangkan war for talent,” tuturnya mantap.
Kris menambahkan, solusi ideal untuk organisasi adalah membuat persiapan jangka panjang kendati itu sulit dilakukan. “Perubahan akan sering terjadi, organisasi dituntut untuk tetap hidup dan bisnis strategi akan sia-sia kalau tidak ada yang menjalankan,” katanya. “Jangan menjadi organisasi yang berantakan jika ditinggalkan talent-nya. Maka itu, yang harus disiapkan oleh organisasi adalah mendokumentasikan kegiatan pekerjaan dan bisnis dalam bentuk eksplisit,” sarannya.
Lebih jauh, semua hasil riset, pemikiran, dan diskusi yang berlangsung di dalam organisasi sepantasnya didokumentasikan. Inilah yang akan mendorong terciptanya learning organization. Ketika penggantinya datang, dia bisa membacanya dari A-Z sehingga tidak melakukan kesalahan yang sama.
Sepertinya, mempertahankan orang kunci yang berperan untuk kelangsungan hidup organisasi merupakan hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebuah pertanyaan yang diajukan kepada 3.400 orang yang mewakili karyawan di seluruh AS mengenai alasan terpenting mengapa seseorang bersedia bekerja di perusahaannya saat ini menunjukkan jawaban yang menarik. Survei bertajuk “The 1997 National Study of The Changing Workplace” yang dilakukan oleh Families and Work Institute ini memperlihatkan tiga alasan terpenting, yaitu: komunikasi terbuka (bahkan 65% responden menyatakan hal ini “sangat penting”), kesempatan menyeimbangkan antara pekerjaan dan kehidupan di luar jam kerja (60%), dan pekerjaan yang menyenangkan (59%).
Itu berarti, didengar dan diperhatikan oleh atasan merupakan salah satu indikator bahwa yang bersangkutan merasa “dianggap dan dihargai”. Walaupun fasilitas pengasuhan anak dan program-program serupa lainnya merupakan hal yang juga penting bagi kebanyakan karyawan, tetapi dihargai dan didengarkan merupakan keinginan dari sebagian besar karyawan. Bagaimana di perusahaan Anda?
Liputan: Anung Prabowo, Jelang Ray Agung Pangestu, Rina Suci Handayani

Tulisan bagus ini diambil dari http://www.portalhr.com/